Kampung Bawean - Boro Utara - Curungrejo - Kepanjen - Malang- Indonesia
Senin, 30 Desember 2013
My Hometown 1
Kampung Bawean - Boro Utara - Curungrejo - Kepanjen - Malang- Indonesia
Minggu, 16 Juni 2013
Mentari Senja
Mentari Senja
Mengukir Cerita
Sehari Semalam nan Jauh di Sana
“Mentari Senja”, hal
yang mengingatkanku pada masa itu. Sebuah cerita dari pengalaman yang tidak
akan pernah kucoba untuk melupakannya. Bersama Desy dan Ida, kita ukir sebuah cerita dalam sehari
semalam di sebuah daerah di mana salah satu dari temanku ini dilahirkan. Banyak
sekali pengalaman yang mungkin suatu saat hanya akan menjadi sebuah kenangan. Apa
saja hal yang dilakukan bersama dalam waktu yang sesingkat itu?
Malam
Jumat
Malam
yang kata banyak orang, angker, jum’at kliwon tanggal 25 April 2013. Terlintas
dalam pikiranku, aku ingin main ke rumah Ida, [temanku yang entah apa yang membuat
ucapan dan perbuatannya sering membuatku dan teman-temanku tertawa, mungkin
karena nada bicaranya yang berlogat daerah kulonan dan tingkahnya yang
terkadang sepeti anak kecil kali ya? Hehe..] Tugu-Rejotangan-Tulungagung.
“Besok aja kali ya, aku main ke
rumah Ida?”
Kemudian aku kabari Ida kalau
insyaAllah besok aku akan main ke rumahnya.
Dan
dia mengijinkanku. Aku bingung mau ngajak siapa? Masa sendirian? Akhirnya aku
ajak Iis yang pernah ke sana dan Desy yang belum lama mau pergi ke sana, tapi
gak jadi.
Akhirnya aku ajak mereka lewat via
sms dan tanpa disengaja, di hari itu, salah satu orang tua dari orang tuanya iis
yang serumah dengannya dipanggil oleh Allah. “Innalillaahi wainna iaihi
raaji’uun..” Sedangkan desy masih mau ijin dulu ke ibunya. Tak lama kemudian,
dia bilang kalau ibunya mengijinkannya. Aku pun segera tidur untuk menyiapkan
hari esok.
Tanpa
Tempat Duduk
Pagi, tanggal 25 April 2013, pukul
6, aku ke stasiun Kepanjen, stasiun satu-satunya di Kepanjen yang sekarang
menjadi ibu kota kabupaten Malang, untuk membeli 2 tiket kereta api jurusan
Ngunut. Namun, sesampai di sana aku tidak mendapatkannya karena KTP atau hanya
sekedar nomor KTP milik desy pun aku tak tahu. Dan HP untuk menghubunginya aku
juga tidak membawa sehingga mengharuskanku kembali ke rumah.
Setelah mendapatkan nomor KTP dari
via sms, aku segera kembali ke stasiun dan akhirnya aku dapatkan 2 tiket kereta
api berwarna biru putih yang di dalamnya tercantum namaku, Nilna Amalia Hasna
dan temanku Desy Vita Pratiwi, nama kereta “Penataran Dhoho” yang diambil dari
nama candi peninggalan Kerajaan Majapahit yang terletak di Kabupaten Blitar,
Candi Penataran. Juga tertulis jadwal keberangkatan pukul 09:01 dari stasiun
Kepanjen dan jadwal tiba pukul 11:21 di stasiun Ngunut dengan status “Tanpa Tempat
Duduk” dikarenakan tiketnya telah habis. Aku pun segera pulang dan bersiap.
Pukul 07:40, desy berangkat dari
rumahnya menuju stasiun Kepanjen dan tiba di sana pukul 08:15. Di ruang tunggu,
dia duduk di samping anak yang ternyata sekolahnya se angkatan dengannya dan
dia juga akan naik kereta dengan jurusan yang sama. Mereka ngobrol hingga
kereta yang akan mereka dan aku naiki segera tiba dari arah utara.
“Ayo Mbak! Keretanya udah mau
datang.” ajak gadis itu
“Iya sebentar, sampeyan duluan,
masih nunggu temenku.” kata desy sambil berkata pada hatinya, “emang kalau
Nilna itu kebiasaan.”
Aku berangkat dari rumah pukul 08:48
diantar ibuku tercinta yang tak pernah lelah untuk selalu mengingatkanku dalam
segala hal. Aku dan ibuku tiba di stasiun pukul 09:00 bersamaan dengan kereta
api yang akan membawaku. Entah bagaimana jika aku terlambat beberapa detik
lagi? Aku dan Desy berpamitan kepada ibuku dan segera naik kereta api berwarna
kuning biru seperti warna khas dari sekolahku, SMAN 1 Gondanglegi yang lebih
dikenal dengan sebutan SMANGGI. Kereta api pun mulai bergerak lurus berubah
beraturan dengan kecepatan awal 0 Km/Jam.
Pertama kali yang aku dan desy lakukan adalah mencari tempat duduk.
“Des,
kata pegawainya tadi, waktu aku beli tiket, kalau gak ada tempat duduk, duduk
aja di gerbong makan di kursi paling belakang. Jadi kita duduk di sini aja!”
ajakku saat di gerbong makan
“Pak,
kita duduk di sini ya?” tanyaku kepada pegawai kereta
“Iya,
boleh boleh silahkan.” jawabnya
Akhirnya
kita berdua dapat tempat duduk yang sebenarnya tepat duduk dari pegawai. Kulihat
kota Kepanjen dari jendela dan terlihat ibuku yang sedang berhenti di jalan
sebelah barat masjid Salafiyah Kepanjen melihat kereta yang membawaku pergi.
“Ibu...” teriakku di ventilasi
berukuran 80x13 cm
Beliau
berusaha mencariku dengan wajah bingung.
“Ibu...”
teriakku lagi dengan lambaian tanganku keluar dari ventilasi kereta api
Begitu
sedihnya namun juga bahagia ketika kulihat ibuku melambaikan tangannya dengan
wajahnya yang tersenyum. Seperti di film “A Long Visit My Mom” pada menit 26:16
yang pada waktu itu anaknya akan pergi ke ibu kota Korea Selatan, Seoul untuk
sekolah naik kereta api dan ibunya melambaikan tangan dengan tersenyum namun
dalam hatinya ia menangis. Bagiku, gak ada senyuman paling membahagiakan dan
paling indah selain senyuman dari ibu untukku. Begitu perhatiannya seorang ibu
untuk anaknya, namun terkadang, anaknya tidak mengetahui atau kurang
menyadarinya.
“Maafkan
anakmu yang selalu tidak mengerti dan tidak peduli dengan apa yang telah engkau
lakukan untukku, Ibu.” dalam benakku berkata dengan mata yang berlinar
Begitulah
ibuku dan semua ibu di dunia ini. Masinis mulai mempercepat laju kereta
meninggalkan kota Kepanjen. Aku segera mengabari Ida di via sms bahwa aku
sedang dalam perjalanan. Dia tanya kepadaku, dengan siapa aku.
“Aku
bersama orang banyak di kereta” balasku di via sms
Aku
tidak memberi tahu kepadanya kalau aku pergi bersama Desy yang lebih akrab
disapa “emak”. [mungkin karena sifatnya yang keibuan dan menyayangi
teman-temannya layaknya ibu kepada anaknya kali ya? hehe..]
“Oke,
hati-hati Nil. Kalau dari stasiun Rejotangan, sms ya?! Nanti aku jemput di
stasiun Ngunut.” Balas Ida
“Oke
sip.” Balasku
Perjalanan di Atas Rel
Begitu
ramai suasana di dalam kereta dengan pedagang asongan yang membawa dagangannya
dari satu gerbong ke gerbong lainnya, dan pengamen dengan suaranya yang
bervolume maksimal diiringi dengan musik dan suara kereta yang tidak kalah
dengan musiknya. Namun keramaian itu diimbangi dengan pandanganku ke luar
jendela yang membuat hati menjadi tenang melihat pemandangan hijau yang indah
sehingga membuatku menikmati perjalanan di atas rel kereta api ini.
Pemandangan
hijau di pagi menjelang siang yang cerah tak tampak sejenak karena diganti oleh
kegelapan bagai langit di malam hari dengan tiada bulan dan bintang yang
menghiasinya dari dua terowongan yang ada di Karangkates. Dua dari 19
terowongan kereta api yang ada di Indonesia ini bernama Eka Bhakti Karya dengan
panjang 850 meter dan Dwi Bhakti Karya dengan panjang 400 meter. Dari 19
terowongan kereta api di Indonesia, kini yang masih digunakan jalur kereta api
sebanyak 14 dan semua merupakan peninggalan Belanda, kecuali dua terowongan
yang kita lewati ini yang dibangun bersamaan dengan waduk Karangkates di tahun
1969.
Satu
per satu stasiun kita lalui. Stasiun Ngebruk, Sumberpucung, Pohgajih, Kasembon,
Wlingi, Talun, Garum, Blitar. Setelah itu tibalah aku di stasiun Rejotangan dan
aku segera hubungi Ida,
“Ida,
aku sekarang di stasiun Rejotangan.” Isi smsku
“Oke.
Aku berangkat ke stasiun Ngunut. Tunggu aku ya?!” balasnya
Entah
kenapa kereta yang membawa kita, berhenti di stasiun Rejotangan cukup lama.
Dan membuat Ida menunggu di stasiun
Ngunut, stasiun setelah Rejotagan. Setelah beberapa menit kemudian, datanglah
kereta dari arah yang berlawanan dan membuat kereta kita segera berangkat ke
stasiun Ngunut. Beberapa menit dari stasiun Rejotangan, sampailah kita di
stasiun Ngunut, stasiun yang paling dekat dengan rumah Ida di kabupaten
Tulungagung.
“Monggo
Pak, Bu..” kataku dan Desy kepada sebagian orang yang ada di kereta
“Nggeh
monggo-monggo..” jawab mereka
“Ah..,
akhirnya sampai juga. Capek duduk terus.” kata desy dengan nada kecapekan
Boncengan 3
“Selamat
datang Tulungagung..” sapaku dengan nafas lega dan kaki turun dari kereta tanpa
tangga
Tampak
di sebelah selatan gerbong-3 di depan gerbang masuk stasiun Ngunut dengan wajah
bingung mencari temannya yang dikira hanya seorang. Kulambaikan tanganku hingga
dia melihatku bersama Desy yang berada di kananku dengan mengenakan jaket biru dan
berkerudung merah muda.
“Woo..,
katanya sendiri. Jadi, ke rumahku boncengan 3 ini? Kalau tau gini kan tadi aku ajak
mbakku.” ujarnya dengan nada agak tinggi cenderung rendah
“Gak
papa, biar lebih seru, boncengan 3.”
Bergegaslah
kita bertiga keluar stasiun Ngunut.
“Sekalian
beli tiket buat pulang apa piye?” tanya Ida dengan logatnya
“Kita
pulang kapan Des?” tanyaku
“Ya
besok aja.” Jawabnya
“Minggu
aja!”usul Ida
“O
iya Dul, awalnya Nilna mau pulang nanti sore. Ya yang bener saja? Baru nyampek
langsung pulang. Terus juga capek di perjalanan.” Ungkap Desy kepada Ida yang
sering disapa Idul
“Oke deh, kita pulang besok. Kalau
tiketnya bisa dibeli sekarang, ya kita beli sekarang aja!” ajakku
Kita
menuju loket yang di dalamnya pegawai wanita yang masih muda.
“Mbak,
beli tiket ke Kepanjen untuk besok, bisa?” tanya Ida
“Bisa.
Mau yang jam berapa?”
Kita
lihat di papan putih bertuliskan jadwal keberangkatan kereta api dari Ngunut ke
Kepanjen. Dan akhirnya kita putuskan untuk membeli 2 tiket yang bisa membawa
kita pulang ke kampung halaman pada hari esok, 27 April 2013 pada pukul 12:54
WIB. Namun entah kenapa pegawai yang terlihat agak kurang konsentrasi dalam
bekerja itu memberi kita tiket yang salah dengan jadwal berangkat 12:54 dari
stasiun Ngunut dan jadwal tiba pukul 15:57 di Malang Kota Lama. Tapi, tidak
apa-apa lah, karena dari Ngunut ke Malang Kota Lama harus melewati Kepanjen yang
terletak di sebelah selatan dengan jarak ± 18 KM dari kota Malang.
Setelah
mendapatkan kertas berukuran panjang 19 cm dan lebar 9,2 cm dengan warna orange,
biru, dan putih yang seakan menandakan logo PT. Kereta Api Indonesia (persero) yang
diluncurkan pada tanggal 28 Septembar 2011 bertepatan dengan peringatan ulang
tahunnya yang ke-66, yaitu 3 garis melengkung yang melambangkan gerakan yang
dinamis PT. KAI dalam mencapai visi dan misinya, 2 garis warna orange
melambangkan proses pelayanan prima, anak panah berwarna putih melambangkan
nilai integritas yang harus dimiliki insan PT. KAI dalam mewujudkan pelayanan
yang prima, dan 1 garis lengkung berwarna biru melambangkan semangat inovasi
yang harus dilakukan dalam memberikan nilai tambah ke stakeholders, kita bertiga
segera menaiki sepeda mio berplat AG 2240 GO dengan kecepatan 40 Km/Jam untuk
menuju ke rumah Ida.
Dari
stasiun Ngunut, ke arah selatan keluar dari Jalan Stasiun menuju ke Jalan Raya
Tulungagung, belok kiri kurang lebih 100 m terdapat lampu lalu lintas yang
mengatur pertigaan dan kita belok kanan dengan menunggu belasan detik untuk
lampu berubah warna menjadi hijau dari sebelumnya berwarna merah. Setelah ke
arah selatan ± 4 Km, kita temukan lagi lampu merah yang kita terobos karena “Belok
kiri jalan terus”. Tidak lama kemudian, kita memasuki kawasan desa Tugu
kecamatan Rejotangan, daerah di mana Ida dilahirkan pada tanggal 14 Juni 1995.
Kita masuki gang yang ada di kanan jalan, sekitar 300 meter, Ida yang saat itu
membonceng aku yang berada di belakang dan Desy di tengah, membelokkan stir
sepeda matiknya ke arah kiri dan berhenti di depan rumah bercat kuning.
Karpet Merah
Akhirnya
kita sampai di rumahnya.
“Assalamu’alaikum..”
salamku dan Desy kepada ayah dari Elisa dan Lina, kedua adik Ida, yang saat itu
beliau akan pergi ke masjid untuk sholat Jumat.
“Wa’alaikum
salam.. temannya Ida dari Malang ya?” tanya beliau
“Iya
Pak.”
“Ya
sudah, silahkan masuk..”
“Terima
kasih Pak.”
Kita
pun segera masuk dan duduk di karpet merah yang di depannya terdapat televisi
yang sedang menayangkan berita atas meninggalnya ustadz Jefri Al-Bukhori pada
hari itu, Jumat 26 April 2013 pukul 01.00 WIB. Aku ingat sebuah hadist
Rasulullaah SAW yang artinya, “Setiap muslim yang mati pada siang hari Jumat
atau malamnya, niscaya Allah akan menyelamatkannya dari fitnah (azab) kubur.”
[Sedikit
cerita tentang hari Jumat ya?] Hari jumat adalah hari yang sangat istimewa bagi
umat islam karena hari itu adalah hari raya bagi umat muslim yang berulang
setiap pekan. Banyak sekali keistimewaan dan keutamaan hari Jumat. Di
antaranya, hari Jumat merupakan waktu
mustajab untuk berdo’a, seorang yang meninggal dunia di hari Jumat akan
dilindungi dari siksa kubur, dan masih banyak lagi. Kemudian juga ada
kejadian-kejadian besar, seperti Nabi Adam diciptakan, beliau dimasukkan ke
dalam surga, juga beliau dikeluarkan dari surga, bahkan hari kiamat juga akan
datang pada hari Jumat, namun tiada seorang pun yang tahu kapan datangnya hari
itu.
Di
tengah-tengah menonton berita langsung proses sholat jenazah Uje di masjid terbesar
di Asia, masjid Istiqlal-Jakarta Pusat dan juga pemakaman Uje, kita tinggal
sejenak untuk sholat Dhuhur, dan setelah
itu, Desy yang terlihat kecapekan, langsung tertidur dengan nyenyaknya di
karpet merah ruang keluarga.
Setelah
rasa capek yang hilang karena istiraahat selama ± 2 jam, matahari mulai condong
45º ke arah barat. Aku yang ingin sekali melihat suasana daerah yang berjarak ±
90 Km dari rumahku ini, mengajak Ida keluar rumah untuk melihat suasana di
sekitar.
Lumpur Sawah
“Eh,
di dekat sini ada pantai, gunung, sawah, atau sungai a? Jalan-jalan yuk!”
“Ke
mana ya? Di sekitar sini ada sungai di dekat sawah, tapi aku udah lama gak ke
sana.” Kata Ida
“Ya
udah kita ke sana aja yuk?!” ajakku
Dengan
memakai kaos pendek warna merah, celana pendek, dan beralaskan sandal japit,
aku pun berangkat dengan dua temanku yang sudah siap menjelajahi sawah di sore
hari.
“Mbak,
mau ke mana?” tanya Lisa, adik pertama Ida yang masih duduk di banku TK.
“Mau
main ke sawah.”
“Aku
ikut.”
“Iya,
ayo!”
Ketika
baru keluar rumah,
“Aku
ikut mbak Ida..” Kata Diva, adik sepupu Ida yang masih berusia 3 tahun
Akhirnya
kita berlima berjalan menuju sawah yang letaknya ± 200 meter dari rumah Ida.
Begitu senangnya ketika melihat hamparan yang sebenarnya tidak terlalu luas
untuk ukuran sawah seperti di pegunungan. Kita coba untuk menelusuri tepi
persegi yang tertanam padi.
Di
posisi paling depan, Diva yang berstatus paling kecil. Di belakang Dipo, sapaan
dari Diva, ada Ida yang boleh dikatakan sebagai pemandu wisata sawah saat itu
karena dia yang mengetahui letak sungai yang akan kita tuju dan juga penjaga Dipo.
Di posisi ketiga, Lisa yang karena dia masih anak-anak, jadi harus di tengah.
Di belakangnya, Desy yang membantu Lisa ketika jalan di tepi sawah agak susah
untuk dilewati. Dan di belakang sendiri ada aku yang memang sering kali
tertinggal karena ada aja alasan, seperti logonya Hoka Hoka Bento. Tiba-tiba,
“Bluq”
suara kakiku yang masuk ke dalam lumpur sawah yang lebih di kenal dengan
istilah ledok
Yah,
aku adalah orang pertama dari 5 penjelajah sawah saat itu yang mewarnai kakiku
menjadi hitam setengah abu-abu dengan baunya yang khas. Memang saat itu aku
lari mengejar yang lain di jalan yang lebarnya hanya ± 40 cm sehingga aku
kurang bisa menyeimbangkan tubuh. Setelah mengambil sebuah alas kaki sebelah
kanan yang terpendam dalam lengketnya lumpur sawah, kita lanjutkan langkah kita
di tepi sawah dengan benih-benih padi yang baru tumbuh.
Di
lumpur sawah yang lengket, Lisa menangis ketakutan dan meminta kembali pulang.
Akhirnya kita harus mengantarkan Lisa dan Dipo kembali ke tempat awal kita
masuk ke area sawah dan menyuruh mereka kembali ke rumah yang berjarak ± 200
meter dengan keadaan kaki yang lumayan kotor akan lumpur sawah.
Mentari Senja
Setelah
itu, kita yang masih ingin menikmati indahnya sawah dengan benih-benih padi
yang baru tumbuh, kembali menjelajah di tepi-teppi sawah. Kita berjalan dengan
bercanda-tawa yang suatu saat aku akan merindukan senyuman dari teman-temanku
ini. Kita temukan sawah yang terlihat seperti danau karena belum ada padi yang
ditanam dan berair tenang.
“Pak,
bolehkah kita pinjam tumbuhan padi yang masih baru ini untuk kita tanam?”
“Nggeh
monggo..” kata petani yang kelihatannya pemilik tanah itu
Kita
segera masuk ke sawah yang belum tertanam padi itu, kita coba tanam padi yang
kita bawa, dan tak lupa mengambil moment yang mungkin suatu saat hanya bisa
kita lihat dan kita kenang. Setelah merasa puas bermain di sawah tanpa padi,
kita lanjutkan perjalanan ke sungai yang semakin dekat tanpa alas kaki.
Ditemani MENTARI SENJA di langit yang seakan menatap kita dengan penuh
senyuman, di antara hijaunya sawah yang terbentang luas, gunung tumpul bernama
cimenung terlihat tepat di depan kita, juga sungai mengalir yang menjadi tujuan
kita.
Mentari
Senja
Mentari yang
tersenyum di sore hari,
seakan
bahagia melihat bumi yang ia sinari.
Hijaunya sawah
dalam bayangan mataku,
yang
menyejukkan pikiranku.
Kaki yang
melangkah ke depan,
seakan
perjalanan menuju cita dan harapan.
Canda, tawa, dan
senyuman,
seakan
menghapus semua duka dan kesedihan.
Akhirnya,
kita sampai di ujung jalan. Namun, yang kita temui anak sungai tanpa air, dan induk
sungainya hanya berjarak 20 meter dari kita. Kita beristirahat dulu di titik
itu karena lumayan lelah. Setelah rasa capeknya sedikit berkurang, kita menuju
ke sungai buatan yang menjadi induk sungai untuk mengairi sawah dengan lebar 4
meter.
“Nanti
kita lewat sawah tadi apa tepi sungai ini?” tanya Ida
“Lewat
sini aja.” kata Desy sambil menujuk
jalan di tepi sungai
“Sandal
kita mana?” tanyaku
“O
iya, di tempat kita duduk tadi. Kirain tadi mau lewat sawah lagi, ya sendalnya
aku tinggal di sana.”
“Ya
udah, aku ambil dulu.” kataku sambil berjalan ke tempat kita berhenti sejenak
tadi
Ketika
aku mengambil dua pasang alas kaki berhias lumpur,
“Eh,
besok ulang tahunnya Nilna.” kata Desy kepada Ida
“Loh
iya tah?”
“Iya,
27 April.”
“Ya
nanti aku cari kue.”
“Kalo
nyari kue aku ikut.”
Aku
yang segera kembali dengan berlari membuat mereka menghentikan pembicaraan.
“Ini
sandalnya.”
“Terima
kasih..”
Desy
yang melihat sandal yang dipakainya kotor langsung menceburkan kakinya ke
sungai dengan hati-hati karena sungainya terlihat lumayan dalam. Namun,
“Eh!
Eh! Eh! Sendalnya...” teriaknya melihat sandalnya hanyut
Dengan
saraf sensorik yang ada di mata dan telingaku, dan gerak yang dipengaruhi oleh
sum-sum tulang belakang atau lebih familier dengan istilah gerak reflek, aku
langsung mencoba mengambilnya dengan kakiku, tapi susah sekali, dan aku minta
bantuan Desy untuk mengambinya. Dalam usaha kita mengambil sandal itu,
“Byur!!!”
Desy
tercebur di sungai yang dalamnya ± 60 meter dan akhirnya ia dapatkan sandalnya
dengan terceburnya aku ke sungai itu juga. [mampus lah kita] Kita berdua
sebagai pendatang di desa itu malah tercebur di sungai itu. Seru, lucu, dan konyol juga sih. Tapi gak
papa, akan jadi kenangan suatu saat nanti.
Ida
segera membantuku dan Desy naik dari sungai berair coklat itu. Setelah itu,
kita berjalan menelusuri sungai untuk kembali pulang. Di tengah perjalanan
kita, tampak MENTARI SENJA yang terlihat sangat indah. Waktu itu pukul 5 sore, kita
nikmati pemandangan mentari yang sebagian tertutup awan kecil bersimetris di
bagian bawahnya, dengan bayangan yang tampak di genangan air sawah. Aku
bertanya,
“Kapan
aku bisa melihat MENTARI SENJA yang sama seperti ini lagi? [sangat amat indah] Mungkin
suatu saat aku akan melihat MENTARI SENJA yang berbeda, dan aku berharap sama indahnya,
atau bahkan akan lebih indah.” Dalam benakku bicara
Aku
dan Ida berusaha mengambil gambar ini untuk menambah folder picturs/natural.
“Ya,
agak ke sana dikit ngambil gambarnya!”
“Pencerahannya
dikurangi aja.”
Setelah
kita sudah menemukan titik fokus yang tepat buat foto MENTARI SENJA, aku
berpikir Ida yang akan mengambil gambar di kamera handphoneku, mungkin Ida juga
berpikir aku yang akan memotret moment itu, jadi hapeku yang ketika itu kita
pegang, sama-sama kita lepas dan
“Plung..”
suara handphoneku yang jatuh dan masuk ke sungai kecil di pinggir sawah yang
kalo orang jawa bilang, galengan.
Gerak
reflek menyuruhku mengambilnya dan segera ku keringkan. Beruntung sekali, hanya
suara hapeku yang hilang. Jadi, aku masih bisa mengambil gambar dari hapeku dan
mendapatkan hasil gambar natural cukup bagus yang salah satunya aku jadikan
cover dari cerita MENTARI SENJA ini. Setelah itu, kita bertiga melanjutkan
perjalanan pulang karena hari sudah mulai petang dan matahari akan tenggelam di
ufuk barat. Perkampungan kecil dan sedikit sawah mengantarkan kita kembali ke
rumah Ida.
Segera
kita membersihkan diri dari kotornya lumpur sawah dan bau NaCl serta kandungan
lain yang diekskresikan melalui kulit kita.
Secangkir
Semangat
“Allaahu
Akbar Allaahu Akbar...” suara azdan mulai berkumandang dan segera kita sholat
Maghrib berjama’ah.
Secangkir
semangat buatan Ida menemani kita ngobrol di ruang tamu seperti salah satu
acara TV One, Coffee Break, di dinginnya malam.
“Ayo
habis ini kita keluar naik sepeda motor!” ajak Ida
“Ayo!”
Ketika
itu, bersamaan dengan ayah Ida dan Elisa yang juga keluar rumah.
“Ada
yang bawa sepeda sendiri ini?”
“Boncengan
3 aja.”
“Sebenarnya
melanggar tata tertib mengendarai kendaraan bermotor sih?, tapi gakpapa wes. :D”
“Ya
sudah, Yuk!”
Kita
bersepeda motor menikmati suasana malam di Ngunut. Pertama kali, Ida mengajakku
dan Desy ke tempat makan, Roti Canai-Rasa Sayang. Tempat makan yang menjual makanan
asal India yang juga terkenal di Malaysia. Adonannya terbuat dari tepung terigu
protein tinggi, telur, air, garam, dengan bantuan minyak goreng untuk membentuk
lingkaran lebar, diolesi margarin, dan digoreng dengan sedikit minyak goreng di
atas wajan pipih. Kemudian ditambahkan keju, coklat, pisang, sesuai selera di
dalamnya yang menambah selera makan.
Show
Skylight Pasar Malam
Setelah
makan,
“Kemana
kita selanjutnya?”
“O
iya Dul, ayo ke kampung cilok! Pingin tahu aku, tapi udah kenyang.” ajak Desy
“Apa
an tuh, kampung cilok? Di sana jualan cilok semua a?” tanyaku
“Iya, di sana banyak sekali pedagang
cilok. Besok aja a?”
“Iya wes.” jawab Desy
Kita lihat ada show skylight atau orang
jawa yang membacanya dengan sokle, lampu yang menjulang tinggi ke arah langit
dengan gerakannya yang khas, menunjukkan adanya pertunjukan, yang di Indonesia
paling sering adalah acara pasar malam.
“Eh, gimana kalo kita ikuti dan cari
sumber sokle nya, kayaknya ada acara pasar malem tuh.?! Dan sepertinya juga
dekat.” ajakku
“Ayo!!!” seru Desy
“Ya wes, ayo..!” kata Ida dengan
berpikir, “Biasanya pasar malem itu di lapangan Rejotangan, lumayan jauh, coba
aja deh.”
Kita berusaha mencari di mana sumber
dari pancaran cahaya putih yang tampak menjulang ke langit.
“Ayo! Itu lo.. kayaknya udah dekat.” kataku
Dengan penuh semangat kita berusaha
mencarinya yang terlihat hanya berjarak 500 meter dari kita. Ditemani bulan
Purnama yang menyinari malam tanggal 15 bulan jumadil akir. Kita masuk ke
perkampungan, namun ternyata cukup lama mengikuti cahaya yang tampak dekat dan
mencari sumber pancarannya. Hingga kita keluar dari perkampungan ke jalan Raya
Rejotangan yang jaraknya lumayan jauh, akhirnya kita temukan banyak orang yang
keluar masuk area pasar malam. Sepeda mio yang membawa kita, kita titipkan di
area parkir sebelum masuk ke pasar malam
dengan bantuan jukir.
Banyak sekali permainan yang disediakan,
kincir angin atau dremulem dan komedi putar yang digerakkan oleh mesin
sederhana penghasil energi kinetik, permainan-pemainan unik yang mengandalkan
ketepatan seperti melempar gelang ke botol dan lain-lain yang kalau menang
mendapatkan hadiah, permainan anak seperti memancing ikan dengan mengandalkan
kutub utara dan kutub selatan magnet, dan masih banyak lagi.
Juga pedagang pasar malam yang
meramaikan malam itu. Penjual aksesoris, penjual baju, dan penjual makanan
seperti cilok, tempura, jagung bakar, bakso, bertebaran memeriahkan acara yang
memang disediakan untuk menghibur masyarakat.
“Ayo kita naik kincir!” ajak Ida
“Ayo..!”
Dengan membeli 3 tiket naik dremulem
seharga Rp. 15.000,00 kita dipersilahkan masuk ke keranjang berwarna
merah-putih-kuning-biru yang akan membawa kita mengelilingi lingkaran
berdiameter 6 meter. Energi gerak dari mesin deisel mulai bekerja dan membuat
kita berputar dengan kecepatan sudut yang sering kali berhenti karena ada orang
lain yang keluar masuk. Kita lihat ramainya pasar malam dari atas, kita
bercanda tawa, sampai tidak terasa, waktunya kita harus turun.
Kita berkeliling melihat dagangan yang
disediakan para pedagang. Ketika itu, aku berada di belakang, sedangkan Desy
dan Ida di depanku. Yah, seperti becak yang punya roda tiga, satu di belakang
dan dua di depan. Tanpa ku ketahui,
“Eh Dul, jangan lupa!”
“Iya, abis ini.”
Go
Home
Setelah puas dan kaki kita lumayan pegel
linu karena lelah, kita putuskan untuk pulang. Kita ambil sepeda motor milik
Ida yang kita titipkan di area parkir, dan go
home. Di tengah perjalanan, tiba-tiba Ida menghentikan sepedanya.
“Mau ngapain?, ke mana?” tanyaku
“Mau beli kue.” jawab Ida dengan
santainya
“Oo..” kataku dengan tanpa berpikir kue
apa yang akan dibeli dan untuk apa beli kue
Ida memutar balik arah sepeda motornya
dan menuju ke sekitar stasiun Ngunut dan berhenti sebrang jalan depan toko kue.
Di situ, aku berpikir kalau Ida akan membelikan untukku, Desy, juga
keluarganya, karena berstatus tamu, jadi dia belikan untukku dan Desy. [pede tapi
itu lah yang ada dalam pikiranku saat itu]
“Mm.., kalo mau belikan aku dan Desy,
daripada kue mending martabak kek, apa kek? Itu ada penjual martabak, lebih
suka. Hehehe.. ;-)”
“Pede banget?, ya kalau Ida mau beliin
buat kita?”
“Ye?? Siapa yang mau beliin?”
“Ya kan kita tamu, barang kali mau
beliin buat kita. Kalau enggak ya sudah.” kataku dengan nada malu tapi
sebenarnya gak malu
Ida segera memasuki toko, namun dia juga
segera keluar dari toko itu karena kue yang dia cari tidak ada. Kemudian, kita
melanjutkan perjalanan pulang. Di pertigaan lampu merah yang siang tadi kita
lewati, Ida kembali menghentikan sepeda yang ia kendarai.
“Bentar, aku tak coba cari di situ.”
kata Ida dengan menunjuk toko kue yang ada di sebrang jalan
Jalan yang ketika itu agak sepi,
mempercepat Ida menyebrangi jalan dan menuju toko itu. Tidak lama kemudian, Ida
segera kembali ke aku dan Desy.
“Gak ada tah?” tanya Desy
“Gak ada. Ya wes ayo pulang!” ajak Ida
Segera kita menaiki sepeda motor dan
pulang.
“Yah..., akhirnya sampai juga. Lumayan
capek.”
“Iya, capek.”
Ketika kita datang, rumah Ida dalam
keadaan terkunci yang menandakan rumah kosong.
“Elisa sama Ayah e amian [kamu] belum
datang a?” tanyaku ke Ida
“Iya, belum datang. Biasanya kalau
sampai malem, nginep di rumah saudaraku.”
Coffe
Break
Kita segera masuk ke rumah karena sudah
lelah setelah keliling daerah sekitar rumah Ida di malam hari cerah dengan
pantulan cahaya matahari ke bulan Purnama yang sampai ke bumi. Jarum pendek di
jam dinding menunjuk angka 9, kita lanjutkan
acara ngobrol dengan ditemani secangkir semangat yang tadi masih ada di meja ruang
tamu, seperti halnya acara Coffee Break di TV One yang dilanjutkan setelah
adanya iklan beberapa menit, namun kita break selama kurang lebih 2 jam.
“Ayo sholat Isya’ dulu! Nanti kalau udah
sholat bisa ngobrol sepuasnya [kayak iklan XL aja]. Nanti kalau udah ngantuk
jadi males. Yuk.?!”
Kita ambil wudhu’ dan segera sholat berjama’ah.
Kemudian kita lanjutkan lagi acara ngobrol. Di tengah obrolan kita,
“Ayo tidur!” ajak Ida
“Tidur di sini aja lo Dul!” ajak Desy
yang ketika itu ada di ruang keluarga
“La ngapain tidur di sini?, ayo tidur di
kamar sini lo!”
[Mungkin karena karpetnya berwarna merah
yang melambangkan kehormatan kali ya?, Hehe.]
Sebelum ke kamar tidur, aku menonton TV
yang hampir semua channelnya berisi berita tentang Uje. Ida yang sudah
mempersiapkan tempat tidur kita bertiga, mengajak segera tidur.
“Ayo Mak, ayo Nil!”
Desy segera terbaring di tempat tidur
karena lelahnya. Aku masih menikmati acara televisi malam itu yang menyediakan
berita ustadz yang lebih dikenal dengan sebutan ustadz gaul.
“Biyarin Nilna biar tidur di luar aja.”
kata Desy yang saat itu ada di kamar bersama Ida dengan nada menakut-nakuti
Ucapan Desy dan keadaan rumah yang saat
itu hanya ada kita bertiga, membuatku terpaksa memencet tombol On/Off pada remote control dan tombol power pada
televisi, dan segera ku berbaring di antara Desy di sebelah kananku dan Ida di
sebelah kiriku.
Seperti biasa, kalau sama teman, mau
tidur saja, dalam keadaan mengantuk, ada saja hal yang dibicarakan. Beberapa
menit kemudian, sekitar pukul 21.45, Ida pamit keluar,
“Bentar, aku mau beli.”
“???$%*$#???” sesuatu yang ada di otakku
[malem-malem gini beli apaan?]
“Beli apa Dul?” tanya Desy
“Enaknya agar-agar apa Nutrijel?,
nutrijel ya?”
“Agar-agar aja.”
“Kalau menurutku ya lebih enak
Nutrijel.” selaku
Ida menuju ke rumah saudaranya yang ada
di sebelah kanan rumahnya. Desy juga mengikutinya. Dan aku, ditinggal sendirian
:-( . Aku tunggu mereka di ayunan yang ada di teras rumah. Desy tiba-tiba
muncul.
“Loh?, mana Ida?” tanyaku
“Gak tau. Dia cepet banget ngilangnya.
Waktu aku nyusul udah gak ada. Terus di situ gelap lagi. Jadinya aku balik.”
Tidak lama kemudian, ketika aku dan Desy
sedang asyik bermain ayunan di teras, Ida muncul dengan membawa nutrijel
berwarna hijau, warna kesukaanku yang menandakan rasa melon dan merah, rasa
strawberry.
“Ayo kita masak!” ajak Ida
“Ayo!” jawab Desy
Dalam batinku berkata, “Waktunya tidur
kok malah buat nutrijel? Aneh. Besok, hari ulang tahunku.”
Puding Lapis
Aku melihat kedua temanku ini sibuk
membuat puding dari nutrijel.
“Eh, kalian masak buat aku yah?” dengan
pedenya aku berkata
“Ha??? La kok pede?!”
“Aku masak buat besok pagi. Sekarang
masak biar besok udah jadi dan tinggal makan.”
“Ooo.., tak kira sengaja buat aku.” kataku
dengan nada tanpa bersalah dan sok polos
“Biyarin Dul, biar seneng itu anak. // O
iya, garam mana?”
“Loh?, buat apa?”
“Buat ini.” jawab Desy sambil mengaduk
larutan koloid jenis emulsi padat atau gel dengan medium pendispersi padat dan
fase terdispersi cair
“Emang nutrijel pake garam?” tanya Ida
“Ya nggak usah lah..” kataku di tepat
makan dengan bersantai
“Biasanya aku pake garam.”
Karena Ida ragu akan yang sebenarnya,
dan mungkin aku kurang ahli dalam bidang masak-memasak, dua temanku ini mungkin
kurang percaya dengan pengetahuanku tentang hal ini, jadi kita sepakati untuk
menambahkan garam ke dalam larutan berwarna merah dan hijau ini.
Aku
yang duduk di tempat makan melihat mereka yang serius memasak puding yang aku
juga tidak tahu bagaimana puding yang akan mereka buat. Dua tempat memasak pada
kompor gas Quantum masing-masing mereka tempati, Desy di sebelah kanan memasak
nutrijel rasa melon, dan di sebelah kanan, Ida yang memasak jeli rasa
strawberry. Sedangkan aku hanya melihat mereka dengan senyuman.
“Eh,
kok enak banget cuma lihatin kita masak doang?! Ayo ikut masak!”
“Gak
papa Dul, biar dia jadi tuan putri untuk malam ini.” kata Desy
“Hehehe..
iya iya, aku bantu. Lagian masak tengah malam.?!”
Dengan
gaya sok bisa masak, aku mengaduk adonan [kok kayak roti ya?, biyarin wes]
nutrijel rasa strawberry. Tapi sebentar saja, masakannya aku serahkan lagi, dan
aku kembali duduk, menanti mereka menyelesaikan misi mereka.
Beberapa
menit kemudian, larutan mulai mendidih dan waktunya berkreasi. Mangkuk bening
dan kubus berukuran panjang 25 cm, lebar 25 cm, dan tinggi 2,5 cm membuat kita
berpikir bagaimana kita akan membuat puding. Desy mulai menuangkan sebagian
larutan nutrijel hijau di 1/3 mangkuk. Kemudian kita taruh di kulkas agar cepat
membeku, diikuti dengan menuangkan sebagian nutrijel rasa strawberry ke balok
bening bervolume 1,5625 L itu.
Setelah
dua larutan berubah wujud menjadi padat, kita tuangkan nutrijel yang kita
panaskan di atas kompor lagi agar tidak membeku seperti yang terjadi di dalam
mangkuk dan balok, ke dalam mangkuk untuk warna merah dan balok bening untuk
warna hijau. Dan yang terakhir, kita tuangkan nutrijel warna hijau yang hanya
tinggal sedikit ke mangkuk berisi dua lapis nutrijel. Akhirnya selesai juga
pembuatan puding lapis pada pukul 22.32.12 dan saatnya kita tidur.
Happy
Birthday
Aku
sedikit waspada dengan Desy dan Ida yang sepertinya mereka ingat besok adalah
ulang tahunku, aku berniat untuk tidak
tidur sampai pergantian tanggal dari 26 april menjadi 27 April berlalu. Juga
kalau mereka membangunkanku di pergantian hari, aku akan berpura-pura tidur,
biar mereka bisa aku kerjain balik. Namun, Desy yang tertidur lelap, Ida yang
sedang telepon dengan suara yang sangat kecil, membuatku tidak ada teman untuk
ngobrol dan membuat mataku perlahan mulai terpejam tanpa ku sadari.
Kurang
lebih pukul 00.00 kurang beberapa menit, ½ sadar dan ½ tidak sadar, aku
terdengar di luar kamar ada suara dari gerakan. Aku berpikir mungkin Ida sedang
keluar kamar, dan aku rasa, Desy masih tidur di belakangku ketika aku tidur
dengan posisi miring menghadap tembok. Jadi aku lanjutkan tidurku karena ku
rasa, aman-aman saja.
Munkin
beberapa menit kemudian, Desy yang membawa puding lapis beralas balok bening di
kedua tangannya dan Ida yang membawa gelas berisi air di tangan kirinya datang,
[saat itu aku tidak tahu mereka datang]
“pyur.pyur.pyur.”
Benar-benar
kaget dengan percikan air dari tangan Ida yang mengenai mukaku. Tapi, aku coba
untuk bertahan memejamkan mataku karena aku ingin, aku yang mengerjai mereka,
bukan mereka.
“Happy
birthday to you.., happy birthday to you.., happy birthday, happy birthday,
happy birthday Nilna...” mereka menyanyikan lagu untukku
Dengan
sengaja dan terpaksa aku menutup semua tubuhku dengan selimut.
“Nil,
bangun lah... Ayo bangun! Bangun!”
Mendengar
mereka memintaku untuk bangun dari tidurku, aku tidak bisa membiarkan mereka
berlama-lama menungguku karena mereka telah berusaha melakukan itu semua
untukku. Akhirnya, aku mengejutkan mereka,
“Darrr.!!”
“Selamat
ulang tahun ya Nilna...”’ kata mereka untukku
“Iya,
terima kasih banyak ya...”
“O
iya, ayo tiup pengganti lilinnya!” kata Ida dengan membawa korek bensol
“jress!,
jres!, jres!.” Suara korek bensol yang Ida coba untuk menghidupkannya
“Loh,
kok gak bisa.?! Bentar tak ambil lagi.”
Ida
mengambil korek pengganti yang lebih bermakna dan lebih berkesan, namanya korek
api kayu atau korek pentul yang kalau aku lebih sering menyebutnya korek Jres.
Ida segera menghidupkan salah satu dari mereka, dan aku segera meniupnya karena
api yang ditimbulkan dari gaya gesek antara pentul korek dari bahan fosfor dan
permukaan khusus, hanya bertahan beberapa detik.
“Jres!!”suara
gesekan yang menghasilkan api
“Bismillaahirrahmaanirrahiim...”
Kemudian
dua temanku ini menyuruhku untuk memohon doa kepada Allah. Diawali dengan
ta’awudz, basmalah, sholawat, dan hamdalah, aku lantunkan doa untukku, bapak,
ibu, keluarga, saudara, guru, teman, semua muslim, dan semua umat manusia agar
diberikan umur yang barokah, rizki yang banyak dan barokah, kesehatan jasmani
dan rohani, kebahagiaan dan keselamatan baik di dunia maupun di akhirat. Tak
lupa doa untukku dan untuk semua temanku yang telah melalui ujian khususnya
UNAS, semoga kita semua diberikan kelulusan dengan hasil yang maksimal,
barokah, dan bermanfaat, juga semoga kita semua masuk ke perguruan tinggi atau
tempat menuntut ilmu yang kita inginkan dan yang terbaik buat kita semua.
Aamiin.. di akhiri dengan sholawat, hamdalah, dan Bi barokatil faatihah...
Dilanjutkan
dengan memotong puding lapis rasa melon dan strawberry yang kita buat 1-2 jam
yang lalu. Puding lapis yang berbentuk cawan terbalik di atas balok berisi dua
lapis nutrijell, mulai kupotong. Kemudian, aku disuruh makan nutrijell buatan
kita yang cukup banyak hanya dalam 1 kali lahapan. Ida mengambilkan satu suapan
untukku seperti porsinya orang yang tidak pernah makan 3 hari [hehe]. Dengan
terpaksa dan dipaksa, aku memakan potongan nutijell rasa melon.
“Gimana
Nil, rasanya?, enak a?”
[Rasanya
asin dan manis jadi satu] Aku bilang, “Enak kok” karena walaupun di lidah tidak
terlalu enak, namun selera dan perasaanku yang membuat rasanya enak dan bisa
dijadikan alasan untuk balas dendam.
“Enak
kok, coba kalian coba! Sini aku suapin!”
Dengan
rasa ambisius, aku ambilkan potongan nutrijell yang besarnya sama dengan yang
Ida suapin ke aku.
“Jangan
terlalu banyak lah Nil.?!”
“Udahlah
gak papa.., ayo cepet makan!” paksaku dengan mengarahkan potongan pudingnya ke
Desy
Hingga
Desy membuka mulutnya segera ku suapkan nutrijellnya ke Desy. Kulanjutkan memberi
potongan nutrijell kedua yang sama banyaknya untuk Ida. Kelihatannya mereka
mulai mencerna secara kimiawi jelly dari suapanku. Namun, jelly yang mereka
kunyah belum habis, Ida keluar kamar menuju ke dapur untuk membuang sebagian
jelly yang ada di mulutnya. Begitu juga dengan Desy, ia membuang sebagian jelly
yang dikunyahnya keluar jendela kamar.
“Pudingnya
rasanya aneh.” kata mereka
“Mungkin
kalau sedikit-sedikit, gak terlalu aneh rasanya. Ayo dimakan!” ajak Ida
Kita
memakan pudingnya sedikit-sedikit hingga separuh bagian puding berbentuk
mangkuk terbalik. Bagiku, bukan rasa puding atau hasil puding yang Desy dan Ida
buat untukku, tapi bagaimana mereka membuat momen spesial di hari ulang tahunku
yang ke-18.
***
Terima
kasih Emak Desy dan Mbak Ida, telah membuat momen di detik ke 567.648.000
hidupku yang tidak akan pernah ku coba untuk melupakannya.
***
Setelah
membuat pesta kecil nan bermakna telah usai, kita beristirahat. Desy langsung
memejamkan matanya.
“Nil,
aku tak pindah ke kamar sebelah ya.?!”
“Kenapa?”
“Gak
bisa tidur aku.”
“Mm..,
iya..”
Desy
tertidur lelap, Ida pergi. Tinggal aku sendiri, berpikir tentang kehidupanku
yang telah berlalu, sekarang dan yang akan datang. Tapi apalah daya, kemarin
sudah berlalu [aku hanya bisa memperbaikinya] dan esok belum tentu ada [hanya
bisa bersiap diri untuk kehidupan yang akan datang baik di dunia maupun
akhirat]. Aku pun tertidur seiring menjelang pagi.
Thulu’ul Fajr
Thulu’ul
fajr, membangunkan kita untuk sholat shubuh. Desy mengajakku membantu Ida yang
sedang memasak. Yah seperti biasanya, aku yang kurang paham tentang
masak-memasak, hanya bisa membantu dengan instruksi dari Desy dan Ida.
“Nil,
gulingkan ayam ke dalam tepung bumbu kentakinya sampaii rata. Bisa a?”
“[wah,
ngece nih. Cuma sekedar mencelupkan potongan ayam ke tepung aja ditanya bisa
apa nggak.?] Bisa lah.” kataku optimis
“Ya
sudah, kamu goreng juga sekalian! Bisa gak?”
“[ngece
untuk kedua kalinya ini] gampang deh. Abis ini tak buat Ayam Goreng ala Nilna
Queen.. ;)” jawabku dengan nada seperti di acara di Trans TV, yang dibawakan
oleh Chef Farah Fauzan Quinn
Aku
mulai memasak ayam goreng yang targetnya lebih enak dari ayam goreng KFC dengan
tepung yang sudah disediakan, potongan ayam yang sudah dicuci dan direbus oleh Desi
dan Ida [enak bukan?, hehe]. Desy membuat sop dari berbagai bahan seperti
wortel, kentang, dan teman-temannya. Dan Ida, tentunya orang paling sibuk saat
itu karena dia sebagai tuan rumah yang menyediakan segala sesuatunya.
Dan
akhirnya semua makanan yang kita masak, siap untuk disajikan.
“Ayo
kita makan!” ajak Ida
“Ayo!”
Dengan
semangat, kita makan hasil masakan kita, tak lupa Ayam Goreng ala Nilna Queen
yang ternyata, rasanya tidak kalah dengan KFC [menurutku, karena aku yang
masak. Hehe.. lumayan bakat lah.., kalau jadi chef. ;)]. Semua masakan yang
kita masak, tidak ada yang tidak menggugah selera hingga membuat kita lagi!,
lagi!, dan lagi!
Setelah
sarapan pagi, kita bersantai dan tidak bisa main keluar lagi karena siang ini,
aku dan Desy harus ke stasiun karena kereta yang akan membawa kita pulang ke
Malang akan berangkat dari stasiun pukul 12.54. Jadi, kita manfaatkan waktu
yang hanya tinggal beberapa jam ini untuk bermain di rumah, beristirahat, dan
persiapan pulang.
Tak
lama kemudian, ayah Ida dan Lisa datang. Aku yang menonton televisi bersama
Desy dan Ida, merasa mulai bosan dengan acara pagi saat itu. Aku ajak Lisa bermain puzzle milik Lisa. Di
tengah bermain, Lisa bernyanyi,
“...........♪♫
lihat kebunku..♫ penuh dengan bunga.. ♪... ada yang putih♫ dan ada yang
merah...♪....”
“Eh,
ayo kita nyanyi.?! Bisa nyanyi apa aja?”
“Apa
ya..? sebentar Mbak,,,”
Lisa
mengambil buku sekolahnya yang berisi dengan permainan, kosa kata 3 bahasa,
cara menulis, membaca, juga berbagai nyanyian anak seperti “Kasih Ibu”, “Satu
Dua Tiga”, dan masih banyak lagi. Kita nyanyikan lagu-lagu yang ada di buku.
“Bisa
nyanyi lagu apa lagi? Ayo tebak lagu yang mau kita nyanyin ya.?! Nanti kalau aku
bercerita, Lisa cari tahu apa lagunya, terus kita nyanyi bareng-bareng. Okey?!”
tanyaku
“Oke.”
jawab Lisa dengan semangat
Aku
bercerita, “di pagi yang cerah, Lisa melihat kebunnya, di sana, ia melihat
bunga, ada yang putih, dan ada yang merah..”
Lisa
pun menyanyikan lagu anak “Lihat Kebunku” bersamaku. Begitulah seterusnya
hingga cerita usai.
I’m
coming, Bumi Arema
Jarum
jam kecil menunjukkan angka 10 dan waktunya aku dan Desy harus mempersiapkan
diri untuk kembali ke kota kebanggaan, Bumi Arema. Rasanya sudah lama sekali
meninggalkan bumi Arema. Tapi juga masih pingin bersama teman-temanku mengukir
cerita lebih lama di masa-masa akhir Abu-abu Putih yang hanya tinggal
menghitung hari [kayak judul lagu yang pertama aku tahu dari tugas kesenian
kelas XI, menyanyi. (ketinggalan :D)]
Aku
dan Desy segera bersiap diri untuk perjalanan kita yang kedua kalinya dengan
keadaan yang sama dan arah yang berkebalikan. Kalau kemarin kita meninggalkan
kampung halaman, dan setelah ini, kita balik ke kampung halaman. Kata banyak
orang, perempuan itu lebih ribet dari laki-laki. Terbukti! Persiapan saja
membutuhkan waktu lebih dari 1 jam hingga waktu menunjukkan pukul 12.35 WIB.
“Eh,
ayo! Udah jam berapa ini?? Kurang 15 menit an keretanya berangkat.”
“Ya
pulang besok aja kalau keretanya berangkat. Hehe..” kata Ida
“Ayo
lah!, segera Go ke stasiun Ngunut.”
Aku
dan Desy pamit ke ayahnya Ida yang ketika itu duduk di ruang tamu.
“Pak,
kita pulang..”
“Lo..,
pulang sekarang?”
“Iya
Pak, terima kasih, mohon maaf ya Pak..”
“Gak
papa, hati-hati ya..”
“Iya
Pak, Assalamu’alaikum..”
“Wa’alaikumsalam..”
Kita
segera keluar rumah, Ida mengambil sepeda mionya yang biasa kita pakai 24 jam
terakhir. Tak lupa biji dari bunga yang aku sendiri tidak tahu namanya, tanamannya
jarang sekali ditemukan, aku sendiri belum pernah melihat tanaman ini
sebelumnya, daunnya menjari berwarna agak kemerahan, batangnya berwarna merah,
yang Ida berikan kepadaku dan Desy untuk kita bawa pulang dan kita tanam.
Pukul
11.37, kita segera pamit ke neneknya Ida yang rumahnya di sebelah kiri rumah
Ida, juga saudara Ida yang rumahnya di sebelah kanan rumahnya, tempat Ida
kemarin malam membeli bahan membuat puding lapis. Setelah berpamitan, kita
segera berangkat karena waktu yang tersisa untuk perjalanan menuju stasiun
Ngunut hanya tinggal 12 menit lagi.
Kita
lalui jalan yang sama dengan kemarin, saat kita dari stasiun Ngunut ke rumah
Ida, hanya dengan waktu 10 menit namun tidak terlalu ngebut, dan sampailah kita
di stasiun. Segeralah kita masuk, dan duduk di tempat duduk yang disediakan
untuk menunggu kereta api. Hanya beberapa detik kita duduk, kereta api dari
arah barat datang. Kita bingung ini kereta yang akan kita naiki apa bukan, kita
tidak tahu informasi yang selalu diumumkan 2-3 menit sebelum kereta datang
karena kita datang beberapa detik sebelum kereta datang.
“Eh
bentar, aku mau tanya dulu.” kataku di tengah keramaian orang yang naik dan
turun kereta api
“Pak,
ini kereta api Penataran?” tanyaku kepada salah satu pegawai kereta
“Adik
mau kemana?”
“Ke
malang.”
“Oo,
iya ini kereta penataran jurusan Surabaya lewat Malang. Silahkan naik
keretanya.”
“Iya
Pak, terima kasih.”
Aku
segera mencari Desy dan Ida yang terpisah entah ke mana di antara banyak orang.
Akhirnya aku bertemu dengan Desy.
“Loh,
Ida mana? Keretanya keburu berangkat ini.”
“Tadi
dia ke sana.” katanya dengan menunjuk arah barat
“Itu
dia.”
“Ida..!!”
sapaku
Ida
menghampiriku dan Desy yang ada di sebelah pintu keluar masuk gerbong kereta.
Entah kenapa?, rasanya ingin kuteteskan air mata saat itu. Hanya kata maaf dan
terima kasih yang bisa kusampaikan untuk 24 jam terakhir dan juga untuk
hari-hari yang telah kita lalui selama 2 tahun terakhir di masa Abu-abu Putih
kita. Kita segera berpamitan, tak lupa bersalaman yang sudah menjadi adat saat
berpisah, dan salam sesama muslim.
Aku
dan Desy segera menaiki kereta api yang
akan membawa kita pulang.
“Thuut..........”
suara bel kereta api yang menandakan kereta api berangkat
Kita
mencari tempat duduk sesuai dengan yang tertera pada tiket di tengah jalannya
kereta api yang masih belum stabil karena baru berangkat. 19D dan 20C gerbong-1
adalah tempat duduk untuk kita. Duduk dan memandang keluar jendela membuatku
meneteskan air mata yang entah aku sendiri juga tidak tahu apa yang membuat aku
menangis. [mungkin karena mengingat hari-hari yang telah kujalani bersama dua
temanku ini dan juga masa Abu-abu Putihku yang sebentar lagi akan berakhir dan
harus berpisah secara lahir dengan teman-temanku untuk sementara tuk menuju
masa depan yang jalannya berbeda-beda]
“Ngapain
Nil...? hu... Cengeng!”
“Amian
juga cengeng biasanya.”
“Jangan
nangislah..!”
“Pingin
e juga gak nangis.!”
Air
mataku berhenti menetes seiring dengan berjalannya kereta api. Seperti halnya
berangkat ke Ngunut, Tulungagung, kita bersama orang yang ada di dalam telah
berhenti dan melewati 9 stasiun, dua terowongan di bendungan Karangkates, juga
pemandangan yang selalu menemani perjalananku naik kereta, tak lupa pedagang
asongan yang menawarkan dagangannya, dan pemain musik dengan suaranya yang
merdu dan bervolume keras bersama suara kereta menambah suasana nikmat
perjalananku.
Segera
ku hubungi Bapakku untuk menjemputku di stasiun Kepanjen. Beberapa menit lagi,
pukul 15.34 kereta berhenti di stasiun Kepanjen.
“I’m
Coming, Bumi Arema..”
Aku
dan Desy berpamitan ke orang dalam kereta yang ada di sekitar kita dan segera
turun dari kereta. Tampak di tempat duduk ruang tunggu, Bapak yang menanti
kehadiranku.
“Pak!”
sapaku
Setelah
itu, kita keluar dari stasiun. Aku dan Desy berpisah di pertigaan Penarukan
untuk pulang ke rumah masing-masing yang sudah menanti kehadiran kita. Pulang
dengan membawa cerita yang akan menjadi sebuah kenangan, MENgukir criTA sehaRI
SEmalam Nan Jauh di sanA...
Langganan:
Komentar (Atom)

